Kamis, 22 Desember 2011

KEPRIHATINAN TINGKAT KEMISKINAN DI NEGARA KITA TERCINTA

Definisi dan Ukuran Kemiskinan

Kemiskinan Agregat
Perkembangan Kemiskinan
Kemiskinan agregat menunjukkan proporsi dan jumlah penduduk miskin yang hidup dibawah garis kemiskinan. Angka kemiskinan agregat atau yang sering disebut angka kemiskinan makro digunakan untuk mengukur kemajuan pembangunan suatu bangsa.
Perhitungan kemiskinan yang digunakan adalah pendekatan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan. Dalam implementasinya dihitunglah garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan makanan dan bukan makanan. Penduduk yang memiliki rata‐rata pengeluaran/pendapatan per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan disebut penduduk miskin.
Angka jumlah penduduk miskin seperti yang dijelaskan di atas, disebut juga sebagai Poverty Headcount Index atau P0. Jumlah penduduk yang memiliki tingkat konsumsi di bawah garis kemiskinan ini sering juga disebut sebagai Poverty Incidence. Mengapa digunakan konsumsi dalam menghitung jumlah penduduk miskin? Setidaknya ada 3 (tiga) alasan utama: Pertama, dalam pelaksanaan survei, terutama bagi masyarakat miskin yang mempunyai pendapatan tidak tetap, lebih mudah menanyakan jenis barang (termasuk makanan) dan jasa yang telah dikonsumsi atau dibelanjakannya.  Kedua, dengan diketahuinya jenis makanan yang dikonsumsi maka akan menjadi jauh lebih mudah untuk mengkonversinya menjadi tingkat kalori yang dikonsumsi. Informasi mengenai tingkat kalori yang dikonsumsi menjadi penting karena tingkat kemiskinan dihubungkan dengan seberapa besar kalori yang dikonsumsi. Untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan ditetapkan 2100 kilo kalori per orang perhari sebagai batas kemiskinan. Ketiga, dalam kenyataannya, terutama bagi penduduk miskin yang tidak mempunyai tabungan, dalam jangka menengah tingkat pendapatan akan sama dengan tingkat konsumsi (belanja).
Rumah Tangga Sasaran
Data kemiskinan agregat hanya menggambarkan persentase dan jumlah penduduk miskin. Walaupun sangat berguna untuk mengetahui kemajuan pembangunan suatu bangsa, namun tidak dapat digunakan sebagai penetapan sasaran program penanggulangan kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan Program  Bantuan Pendidikan membutuhkan informasi tentang siapa dan dimana penduduk miskin itu berada (by name dan by address).
Penyaluran program penanggulangan kemiskinan memerlukan nama dan alamat rumah tangga sasaran. Data rumah tangga sasaran (RTS) ini sering disebut data kemiskinan mikro. Pengumpulan datanya harus dilakukan secara sensus. Pengumpulan data rumah tangga sasaran didasarkan pada ciri‐ciri rumah tangga miskin yang diperoleh dari survei kemiskinan agregat.
Tabel 1. Ciri-ciri Rumah Tangga Sasaran (RTS)
No Variabel Kriteria
1 Luas lantai per anggota rumah tangga/keluarga < 8m²
2 Jenis lantai rumah Tanah/papan/kualitas rendah
3 Jenis dinding rumah Bambu, papan kualitas rendah
4 Fasilitas tempat buang air besar (jamban) Tidak punya
5 Sumber air minum Bukan air bersih
6 Penerangan yang digunakan Bukan listrik
7 Bahan bakar yang digunakan Kayu/arang
8 Frekuensi makan dalam sehari Kurang dari 2 kali sehari
9 Kemampuan membeli daging/ayam/susu dalam seminggu Tidak
10 Kemampuan membeli pakaian baru bagi setiap ART Tidak
11 Kemampuan berobat ke puskesmas/poliklinik Tidak
12 Lapangan pekerjaan kepala rumah tangga Petani gurem, nelayan, pekebun
13 Pendidikan kepala rumah tangga Blm pernah sekolah/Tdk tamat SD
14 Kepemilikan aset/barang berharga minimal Rp. 500.000,- Tidak ada
Sumber : BPS, 2010
Pengumpulan data RTS ini telah dilakukan BPS sebanyak 2 (dua) kali yaitu pada bulan Oktober 2005 dan September 2008. Daftar RTS yang dihasilkan bukan hanya data rumah tangga (RT) miskin, tetapi juga mencakup daftar RT hampir miskin (near poor).
Jumlah anggota RTS yang tergolong miskin, jumlahnya konsisten dengan jumlah penduduk miskin secara agregat. Jadi, sebetulnya tidak ada dua angka kemiskinan. Jumlah anggota RTS dalam pelaksanaan program Bantuan Tunai Langsung (BLT) lebih besar dari jumlah penduduk miskin secara agregat, dikarenakan jumlah tersebut juga memasukkan RTS hampir miskin.
BPS akan melakukan pengumpulan data RTS kembali pada tahun 2011. Pengumpulan data tersebut menggunakan metodologi yang telah disempurnakan. Dengan dikumpulkannya data RTS pada tahun 2011, diharapkan seluruh program penanggulangan kemiskinan bersasaran (targeted program) menggunakan data RTS tersebut (Unified Database).
Tabel 2. Jumlah RTS Menurut Provinsi dan Kategori Kemiskinan Berdasar PPLS 2008
Sangat Miskin
Miskin
Hampir Miskin
Total
Nanggroe Aceh Darussalam
83,254
219,528
226,970
529,752
Sumatera Utara
146,674
301,223
390,466
838,363
Sumatera Barat
46,001
97,469
113,968
257,438
R i a u
37,356
95,703
120,691
253,750
J a m b i
23,395
48,804
60,938
133,137
Sumatera Selatan
107,132
244,589
245,221
596,942
Bengkulu
24,268
55,968
40,366
120,602
Lampung
116,838
333,194
289,962
739,994
Bangka Belitung
4,887
8,093
15,428
28,408
Kepulauan Riau
14,145
20,809
39,647
74,601
SUMATERA
603,950
1,425,380
1,543,657
3,572,987
DKI Jakarta
28,909
51,063
100,688
180,660
Jawa Barat
484,683
1,008,786
1,347,065
2,840,534
Jawa Tengah
467,726
1,147,239
1,273,396
2,888,361
DI Yogyakarta
34,937
89,868
76,823
201,628
Jawa Timur
493,004
1,256,122
1,330,696
3,079,822
Banten
100,701
208,337
320,280
629,318
JAWA
1,609,960
3,761,415
4,448,948
9,820,323
B a l i
12,176
45,222
77,406
134,804
Nusa Tenggara Barat
96,444
255,728
207,108
559,280
Nusa Tenggara Timur
113,321
223,159
217,290
553,770
BALI DAN NUSA TENGGARA
221,941
524,109
501,804
1,247,854
Kalimantan Barat
58,709
104,551
183,415
346,675
Kalimantan Tengah
24,978
39,073
74,290
138,341
Kalimantan Selatan
30,481
56,134
82,804
169,419
Kalimantan Timur
28,156
73,511
87,330
188,997
KALIMANTAN
142,324
273,269
427,839
843,432
Sulawesi Utara
19,877
49,379
46,539
115,795
Sulawesi Tengah
28,192
64,502
66,432
159,126
Sulawesi Selatan
88,781
213,380
211,959
514,120
Sulawesi Tenggara
45,473
104,625
103,059
253,157
Gorontalo
16,524
31,419
22,574
70,517
Sulawesi Bais kemrat
27,064
30,373
33,136
90,573
SULAWESI
225,911
493,678
483,699
1,203,288
Maluku
33,450
72,618
38,268
144,336
Maluku Utara
11,592
21,921
22,747
56,260
Irian Jaya Barat
29,255
48,433
34,405
112,093
Papua
112,387
208,351
166,696
487,434
MALUKU DAN PAPUA
186,684
351,323
262,116
800,123
Indonesia
2,990,770
6,829,174
7,668,063
17,488,007
Ukuran Kemiskinan lain
Ukuran kemiskinan lain yang sering digunakan adalah Poverty Gap Index atau P1. Indeks ini menggambarkan selisih (dalam persen terhadap garis kemiskinan) rata-rata antara pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan. Jumlah seluruh populasi digunakan untuk menghitung rata-rata dengan menganggap selisih sama dengan 0 (nol) bagi penduduk yang berada di atas garis kemiskinan. Indeks ini menggambarkan kedalaman kemiskinan (the depth of poverty). Perkembangan angka indeks P1 dari waktu ke waktu yang semakin kecil menunjukkan terjadinya perbaikan.
Ukuran kemiskinan lain adalah Poverty Severity Index atau P2. Indeks Keparahan Kemiskinan ini adalah jumlah dari kuadrat  selisih (dalam persen terhadap garis kemiskinan) rata-rata antara pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan. Jumlah seluruh populasi digunakan untuk menghitung rata-rata dengan menganggap selisih sama dengan 0 (nol) bagi penduduk yang berada di atas garis kemiskinan. Dengan melakukan pengkuadratan, indeks ini memberi bobot yang lebih besar bagi penduduk miskin yang memiliki pengeluaran jauh di bawah garis kemiskinan. Serupa dengan P1, Perkembangan angka indeks P2 dari waktu ke waktu yang semakin kecil menunjukkan terjadinya perbaikan.
Baik menggunakan P1 maupun menggunakan P2, menunjukan adanya perbaikan dari waktu ke waktu, seperti terlihat pada gambar 2.
Gambar 2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)

Ukuran kemiskinan lain yang sering digunakan adalah menggunakan batas kemiskinan 1 (satu) US$ dan 2 (dua) US$ per kapita per hari. Batas kemiskinan menggunakan US$ ini sering disalah artikan dengan menggunakan nilai tukar biasa (exchange rate) untuk mendapatkan garis kemiskinan. Sehingga kalau nilai tukar adalah Rp. 8.500 per satu dolar, maka garis kemiskinan 1 (satu) US$ per kapita per hari, menjadi Rp. 255.000 per kapita per bulan. Bila perhitungan ini benar maka menjadi lebih tinggi dari garis kemiskinan nasional yang sebesar Rp. 233.740 per kapita per bulan, kenyataannya tidak begitu. Nilai tukar yang digunakan dalam perhitungan garis kemiskinan 1 (satu) US$ dan 2 (dua) US$ adalah nilai tukar dolar PPP (Purchasing Power Parity). Nilai tukar PPP menunjukkan daya beli mata uang di suatu negara, dalam hal ini US$, untuk membeli barang dan jasa yang “sama” di negara lain. Ilustrasi sederhana adalah sebagai berikuti, bila seseorang di Indonesia  membeli beras seharga Rp. 5000 per liter, sementara di Amerika satu liter beras dengan kualitas yang sama harganya  adalah 1 (satu) US$, dengan nilai tukar biasa artinya Rp. 8.500, dengan pengertian nilai tukar PPP, maka orang di Indonesia yang membeli beras tadi dianggap telah membelanjakan 1  (satu) US$, walaupun pada kenyataannya dia hanya mengeluarkan Rp. 5000. Dalam realitanya tidak sesederhana ilustrasi di atas, barang dan jasa yang  tersedia tidak hanya beras melainkan ratusan barang dan jasa lainnya.
Dengan menggunakan US$ PPP tadi, maka garis kemiskinan nasional pada saat ini adalah sekitar 1,25 US$ PPP per kapita per hari. Dengan demikian garis kemiskinan nasional yang digunakan selama ini lebih tinggi dari batas 1 (satu) US$ PPP. Tidak heran, bila kita menggunakan ukuran  garis kemiskinan 1 (satu) US$ per kapita per hari, justru jumlah orang miskin di Indonesia hanya sekitar 10,01  % pada tahun 2009 lebih sedikit dengan jumlah orang miskin yang dikeluarkan oleh BPS yaitu 14,15 % pada tahun 2009. Untuk kepentingan tujuan Milleninium Development Goals (MDGs), digunakan ukuran kemiskinan 1 US$ per kapita per hari. Sasaran MDGs untuk tingkat kemiskinan Indonesia adalah 10,3% pada tahun 2015. Dengan ukuran ini Indonesia telah mencapai sasaran MDGs pada tahun 2009, jauh sebelum tahun 2015.
Dengan menggunakan ukuran kemiskinan 2 (dua) US$ PPP per kapita per hari, jumlah orang miskin di Indonesia menjadi sekitar 50 %. Ukuran kemiskinan 2 (dua) US$ PPP per kapita per hari biasanya digunakan untuk negara yang kondisi ekonominya jauh lebih baik. Untuk negara bekembang ukuran 2 US$ per kapita per hari dianggap terlalu tinggi. Namun demikian, jika perkembangan tingkat kemiskinan menggunakan ukuran yang konsisten, maka baik dengan menggunakan 1 US$ per kapita per hari, maupun dengan 2 US$ per kapita per hari, maupun dengan menggunakan ukuran garis kemiskinan nasional, tingkat kemiskinan di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang terus menurun setiap tahunnya.
Walaupun tingkat kemiskinan cenderung menurun dari tahun ke tahun, namun jumlah absolutnya masih sangat besar. Pada tahun 2011, tingkat kemiskinan nasional adalah 12,49 % atau 30 juta orang. Jumlah ini lebih banyak dari pada jumlah penduduk Malaysia (28,2 juta orang). Hal ini merupakan tantangan dan pekerjaan rumah yang sangat besar bagi semua pihak.
Baik menggunakan ukuran 1 US$ per kapita per hari maupun menggunakan 2 US$ per kapita per hari, menunjukan adanya perbaikan dari waktu ke waktu, seperti terlihat pada gambar 3.
Gambar 3. Proporsi Penduduk dengan Tingkat Pendapatan Di Bawah 1 US$  PPP/Kapita/Hari, 2 US$ PPP/Kapita/Hari, Garis Kemiskinan Nasional
Proporsi Tingkat Pendapatan Penduduk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BEYONCE

Free Music Online
Free Music Online

free music at divine-music.info