Juli
1974 menjadi bulan yang sangat istimewa bagi Yusuf Amin (21 tahun).
Pemuda asal Cirebon yang tidak lulus SD ini menikahi seorang gadis belia
bernama Sumarni (14 tahun). Selanjutnya, hari-hari Yusuf dihiasi
perjuangan mencari sesuap nasi. Bukan hanya untuk dirinya sendiri tapi
juga untuk sang pujaan hati, yang telah menjadi tanggungannya.
Orangtua
serta mertua Yusuf hanyalah buruh tani. Saban hari, Yusuf terlihat
membantu mereka di sawah kala musim semai dan tuai padi tiba.
Sawah-sawah itu hampir setahun ia garap tanpa rasa letih, meski terik
matahari menyengat kulitnya.
Kemarau panjang pun menghampiri.
Yusuf menganggur. Sesekali ia menatap sang istri tercinta sedang
mengelus perutnya yang tampak membesar. Asa pun muncul. Yusuf putar
otak, mencari solusi.
Ia lantas memutuskan untuk merantau ke
Bandung. Dengan bekal Rp.500,- (cukup untuk sekali naik bus) ia meminta
izin pada istri serta mertuanya, untuk berangkat ke kota Kembang. Pada
kedua orang tuanya, Yusuf memohon do'a agar di perantauan anaknya dapat
meraih nafkah yang berkah.
Tiba di Bandung, Yusuf menginap di
rumah Maripah, kakak sepupunya di Ciharugeulis. Di sana ia kembali
mencari cara untuk berjualan. Beruntung ada seorang kenalan yang
bersedia meminjamkan gerobaknya pada Yusuf.
Penuh semangat, Yusuf
pun memulai usahanya sebagai pedagang sekoteng hangat. Setiap malam
usai shalat Isya, Yusuf mulai menjajakan dagangannya dari Cihaurgeulis,
Taman Sari, Cihampelas, hingga Gegerkalong.
Udara malam di
Bandung kala itu, tahun 70-an, terasa sangat dingin. Apalagi hujan deras
biasa turun, saat Yusuf sampai di daerah Gegerkalong.
Namun ia
tak patah arang. Setiap dorongan gerobak mengingatkan istri tercintanya
yang tengah hamil 9 bulan. Maka rupiah demi rupiah yang ia terima pun
langsung disimpan ke dalam celengan kaleng. Hingga pukul 02.00 dini
hari, Yusuf baru mengakhiri perjuangannya.
"Saya punya tekad
membahagiakan istri. Jadi saya harus tekun. Meski hujan deras, sera
udara malam yang sangat dingin, saya harus tetap kuat," kenang H. Yusuf
saat ditemui Alhikmah di kediamannya di bilangan Sukamantri, Bandung,
April lalu.
Cirebon, 25 Agustus 1975, seorang bayi laki-laki,
Jaja Zakia Yamani, akhirnya lahir dari rahim sang istri, Sumarni. Yusuf
merasa bahagia sekali. Hasil jerih payah dia selama 20 hari berjualan
sekoteng, akhirnya bisa membiayai persalinan istrinya.
Tepat usia
anaknya menginjak 8 bulan, Yusuf memboyong anak serta istrinya ke
Bandung. Masih di Haur Pancuh, bekas jongko pasar yang tak layak huni,
menjadi rumah sewaan Yusuf dan keluarga. Sisanya, sejumlah 4.500, ia
belikan gerobak sekoteng milik temannya itu. Ia pun kembali berjualan.
Dua
tahun sudah berlalu. Ternyata hasil jerih payahnya sebagai pedagang
sekoteng belum mampu mensejahterakan keluarganya. Cita-cita Yusuf memang
luar biasa. Ia ingin menyekolahkan semua anaknya hingga jenjang
perkuliahan. Tentu sebuah cita-cita melangit dari seorang pedagang kecil
di kota yang sangat besar.
"Saya bertekad, saya ingin anak-anak
saya kuliah semua. Saya ingin rumah tangga mereka tidak seperti saya.
Cukup saya saja serta ibunya. Mereka harus lebih baik," ucap pria yang
lahir di Cirebon 11 September 1953 itu.
Banting Setir Jualan Gorengan
Tahun
1977 menjadi catatan sejarah bagi Yusuf. Secara tiba-tiba ia membanting
setir usahanya menjadi pedagang kudapan khas sunda, gorengan. Gerobak
pisang goreng serta peralatan masak milik salah satu kenalannya ia beli
seharga Rp.67.500,-
Bilangan Ciliwung, Bandung, lantas menjadi
tempat pertama Yusuf menjual gorengannya. Sayang, Yusuf hanya bertahan
semalam. Ia tidak tega melihat di sampingnya ada seorang ibu yang juga
menjual gorengan.
Setelah berkeliling kota Bandung, akhirnya
Yusuf memilih mangkal di bilangan Cendana. Bersama sang istri tercinta,
serta anaknya, Jaja Zakia Yamani yang baru menginjak usia dua tahun,
Yusuf pun semangat berjualan. Kali ini Yusuf memulai usahanya usai
menunaikan shalat Dzuhur, hingga pukul 21.00.
Hari pertama, Yusuf
mengeluarkan modal Rp.4.000 untuk belanja bahan. Hasil penjualan yang
didapat seharian hanya 400 perak. Sekali lagi Yusuf tak mengeluh.
Bagi
Yusuf, mencari nafkah harus dengan ketekunan, dan memohon kepada Allah
SWT sang Pemberi Rezeki. Karenanya, Yusuf tak lupa melaksanakan ragam
kewajibannya sebagai seorang muslim, sebelum memohon pertolongan Allah
SWT.
Yusuf beserta istri selalu menunaikan shalat fardhu tepat
waktu. Selain itu mereka pun terbiasa melaksanakan shaum sunnah Senin
dan Kamis. Bahkan Yusuf terbilang rajin shalat tahajud.
Sehari
kemudian dengan modal masih Rp.4.000, Yusuf mendapatkan uang 800. Hari
demi hari uang yang didapat pun terus bertambah hingga mencapai angka
4.000 rupiah.
"Saya sama ibu huhujanan sambil dorong gerobak.
Waktu itu anak saya masih kecil (2 tahun). Kalau tidur dimasukin ke
gerobak memakai kardus. Kalau mau pulang juga begitu. Saya masukin
sambil dorong gerobak dari Cendana sampai monumen UNPAD," kenang Yusuf.
Buah Jerih Payah
Ketekunan
dan kesabarannya menuai hasil. Oktober 1983, Yusuf membeli sebuah rumah
sederhana. Tahun 1988 saat omsetnya menembus ongkos naik haji berdua,
ia pun langsung memenuhi panggilan Allah ke Tanah Suci beserta istri
tercinta.
Sepulang dari Mekah, pelanggan Yusuf kian meningkat.
Mulai dari kalangan bawah sampai konglomerat, rela antri demi
dagangannya. Diantara mereka ternyata ada yang berasal dari luar kota,
semisal; Surabaya dan Jakarta. Bahkan anggota DPRD Jawa Barat pun tak
segan ikut memesan gorengan Yusuf. Sejak itu, produknya dikenal dengan
sebutan Gorengan Cendana.
"Rasanya kata orang lezat. Gorengannya beda dari yang lain, garing dan minyaknya tidak telalu banyak," ungkap Yusuf.
Hasil
jerih payah dalam mencari nafkahnya itu, kini Yusuf telah memiliki 5
buah rumah. Satu rumah ia dedikasikan untuk kepentingan umat dengan
membuat Majelis Taklim ibu-ibu yang digagas istrinya. Sisanya untuk
anak-anak, serta karyawannya yang kini sudah mencapai 10 orang.
Empat
anaknya, ia kuliahkan hingga jenjang perguruan tinggi. Bahkan dua
diantaranya menjadi dokter umum. Ia pun menyekolahkan buah hati
saudaranya di kampung halaman, bahkan hingga ke jenjang perkuliahan.
Bentuk
bakti kepada orang tua dan mertuanya, Yusuf bangunkan rumah untuk
mereka di Cirebon. Tak lupa, ia pun memberangkatkan mereka ke Mekah.
Selain
itu, Yusuf juga memberikan beberapa bidang tanah untuk digarap oleh
saudara-saudaranya di Cirebon. Ia pun memperkerjakan tetangganya yang
menganggur. Saat ini sudah ada 10 pegawai di tempat usahanya.
Semuanya
itu dilakukannya saat Yusuf masih sangat sederhana. Prinsipnya memberi
sesuatu tidak mesti menunggu kaya. "Tekad saya, Allah ngasih rejeki.
Supaya rejeki itu langgeng, maka harus berbagi. Dan memang benar ada
manfaatnya. Itu yang saya rasakan," ungkap Yusuf.
Saat ini ia
mengaku meraup keuntungan 3-4 juta rupiah perhari atau sekitar 90-120
juta rupiah perbulan. Omset itu bahkan naik berlipat saat bulan ramadhan
yang penuh berkah itu tiba.
"Saya pertama ke Bandung minta restu
orang tua, pidu'ana supaya hidup saya berkah. Waktu itu saya tidak
minta harta. Itu mungkin yang dinamakan rejeki berkah. Pendapatan
sedikit, tapi cukup untuk yang lain. Apalagi pendapatan banyak," kata
Yusuf, menutup perbincangan.